This is default featured slide 1 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
This is default featured slide 2 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
This is default featured slide 3 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
This is default featured slide 4 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
This is default featured slide 5 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
Friday, November 9, 2012
Semut dan ikan pun turut berdoa
Tuesday, November 6, 2012
Harapan Abu Nawas
يَا رَبِّ إِنْ عَظُمَتْ ذُنُوْبيَ ، كَثْرَةً ، ** فَلََقَدْ عَلِمْتُ بِأَنَّ عَفْوَكَ أَعْظَمُ
Wahai Tuhanku, meskipun dosaku terlalu banyak….
maka sungguh aku mengetahui bahwasanya ampunanMu lebih banyak (dari banyaknya dosaku)
إِنْ كَانَ لاَ يَرْجُوْكَ إِلاَّ مُحْسِنٌ ، ** فَبِمَنْ يَلُوْذُ ، وَيَسْتَجِيْرُ المُجْرِمُ
Kalau seandainya hanya orang baik yang bisa berharap kepadaMu….
lantas kepada siapakah pelaku keburukan bersandar dan berlindung?
أَدْعُوْكَ رَبِّ ، كَمَا أَمَرْتَ ، تَضَرُّعاً ، ** فَإِذَا رَدَدْتَ يَدِي ، فَمَنْ ذَا يَرْحَمُ
Akau berdoa kepadamu wahai Tuhankudengan penuh tunduk sebagaimana engkau perintahakan…..
lantas jika Engkau tolak tanganku maka siapakah yang bisa merahmatiku?
مَا لِي إِلَيْكَ وَسِيْلَةٌ إِلاَّ الرَّجَا ، ** وَجَمِيْلُ عَفْوِكَ ثُمَّ أَنِّيَ مُسْلِمُ
Tidak ada yang bisa menyampaikanku kepadaMu kecuali hanya pengharapan….dan indahnya ampunanMu kemudian aku hanyalah pasrah kepadaMu
akhir perjalanan hidup ini
لَيْس الغرِِيبُ غرِيبَ الشَّامِ وَاليمنِ إنَّ الغَريب غَريبُ اللحْد والكَفَنِ
Orang asing bukanlah orang yg merantau ke negeri syam atau yaman
Tp orang asing adl, org yg asing dalam liang lahad bersama kain kafan
إنَّ الغريبَ لَهُ حَق لِغُربَتِهِ علَى المُقِيمينَ فى الأوْطَانِ والسَّكَنِ
Sungguh orang yang terasing memiliki hak yang harus dipenuhi
Oleh penduduk daerah yang sedang dilaluinya
لاَ تَنْهَرَنّ غَرِيْباً حَالَ غُرْبَتِهِ الدَّهْرُ يَنْهَرُهُ بِالذُّلِّ وَالْمِحَنِ
Janganlah kau hardik orang asing ketika sedang dalam perantauan
Karena masa telah menghardiknya dengan kehinaan dan berbagai cobaan
سَفْرِي بَعِيْدٌ وَزَادِي لَنْ يُبَلِّغَنِي وَقُوَّتِي ضَعُفَتْ وَالْمَوْتُ يَطْلُبُنِي
Perantauanku jauh… padahal bekalku tidak mencukupi
Kekuatanku semakin rapuh… sedang kematian terus mencariku
وَلِي بَقَايَا ذُنُوْبٌ لَسْتُ أَعْلَمُهَا اللهُ يَعْلَمُهَا فِي السِّرِّ وَالْعَلَنِ
Aku tentu punya banyak sisa dosa, yang aku tak mengetahuinya
Allah mengetahui dosa-dosaku yang tersembunyi di saat bersendirian atau yang nampak
مَا أَحْلَمَ اللهَ عَنِّي حَيْثُ أَمْهَلَنِي وَقَدْ تَمَادَيْتُ فِى ذَنْبِي وَيَسْتُرُنِي
Betapa sayangnya Alloh padaku… krn telah menangguhkan hukuman-Nya
Bahkan Dia tetap menutupi dosaku… meski aku terus melakukannya
تَمُرُّ سَاعَاتُ أَيَّامِي بِلاَ نَدَمِ وَلاَ بُكَاءٍ وَلاَ خَوْفٍ وَلاَ حَزَنِ
Hari-hariku terus berjalan (dan aku terus melakukan dos-dosa)
Tanpa ada rasa penyesalan, tangisan, ketakutan, ataupun kesedihan
أَنَا الَّذِى أَغْلَقَ الأَبِوَابَ مُجْتَهِدًا عَلَى الْمَعَاصِي وَعَيْنُ اللهِ تَنْظُرُنِي
Akulah orang yang telah menutup pintu
Untuk giat dalam maksiat, padahal Mata Alloh selalu mengawasiku
يَا زَلَّة كُتِبَتْ فِي غَفْلَةٍ ذَهَبَتْ يَا حَسْرَة بَقِيَتْ فِي الْقَلْبِ تُحْرِقُنِي
Salah sudah tercatat, dalam kelalaian yang telah lewat
Dan sekarang, tinggal penyesalan di hati yg terus membakar diriku
sumber : firanda.com
Tuesday, October 23, 2012
mungkin , ini lebih baik
Pertengahan awal bulan Agustus 2007.
Satu rombongan kecil,hanya satu mobil,bergerak menjauh meninggalkan sebuah hotel di Shan’a,ibukota Yaman. Tujuan mereka adalah bandara internasional Yaman.Sebab,ada empat orang yang akan terbang menuju Indonesia,kampung halaman masing-masing. Setibanya di bandara,setelah urus sana urus sini,ternyata rombongan kecil tersebut tidak memperoleh ijin untuk masuk bandara.Karena,satu dan lain
halnya,tentunya.
Sungguh kecewa berpadu dengan kesedihan. Ingin rasanya hari itu juga terbang dan tiba di Indonesia namun pesawat yang akan kami naiki justru telah terbang menembus awan-awan tipis di Shan’a. Seorang kawan dari Yaman yang turut menemani, kemudian berusaha meneduhkan hati,”Bersabarlah.Mungkin,ini lebih baik!”
Lalu sang kawan pun menceritakan sebuah kisah nyata tentang saudaranya. Kejadiannya sama persis dengan kejadian “pahit” yang baru saja kamu alami ; rencana penerbangan yang gagal. Namun,beberapa waktu selanjutnya tersiar berita jika pesawat yang akan saudaranya naiki mengalami kecelakaan.
Allahu Akbar!
Cerita sang kawan dari Yaman tadi lalu seolah menjadi pegangan hidup kala muncul goncangan-goncangan dalam langkah kehidupan.
Mungkin,ini lebih baik!
…….………….. o o O o o ………………….
Pembaca,rahimakallahu…
Inilah kehidupan dunia! Terkadang kenyataan tak seindah angan-angan. Ada sebuah keinginan indah –menurut kita- yang diharap-harap untuk terwujud namun keinginan tersebut juga tak kunjung tiba. Ada juga sesuatu yang coba kita hindari karena buruk –masih menurut kita- malah terjadi. Memang,terkadang kenyataan tak seindah angan-angan. Masihkah Anda mengingat apa yang terjadi dalam peristiwa Hudaibiyah? Kala umat Islam yang dipimpin langsung oleh Rasulullah mengadakan perjanjian bersejarah bersama kaum musyrikin Quraisy?
Ada beberapa butir perjanjian –dzahirnya demikian- sangat merugikan kaum muslimin. Sampai-sampai Umar bin Khatab menemui Rasulullah dan menyatakan,”Bukankah Anda adalah nabi Allah? Bukankah kita di atas kebenaran sementara mereka di atas kebatilan? Bukankah yang mati dari kita masuk surga sementara yang mati dari mereka masuk neraka?”
Rasulullah dengan tegas menjawab,
Dan,subhanallah…
Perjanjian Hudaibiyah ternyata menjadi sebuah pendahuluan untuk menatap sebuah kemenangan besar. Perjanjian Hudaibiyah adalah titik kilas balik dari karunia Allah untuk kemudian disempurnakan dengan jatuhnya kota Mekkah ke pangkuan kaum muslimin.
Melalui perjanjian Hudaibiyah,kaum muslimin dapat menyampaikan dakwah dan memperdengarkan Al Qur’an kepada orang-orang kafir. Lalu banyaklah yang kemudian tertarik lalu masuk Islam.
Pembaca,hafidzakallahu…
Justru yang terpenting adalah keyakinan kita,sebagai hamba, jika segala sesuatunya hanya Allah Yang Maha Mengetahui. Adapun kita sangatlah terbatas kemampuan dan pengetahuannya.Sudut pandang kita dalam menilai sangatlah sempit. Terkadang –dengan sudut pandang kita yang sempit- menilai sesuatu sangat baik dan indah untuk kita.Padahal belum tentu,bukan?
Kadang pula –masih dengan sudut pandang sempit kita- menghukumi sesuatu sebagai hal yang buruk dan merugikan.Padahal belum tentu! Sebab,baik dan buruk atau indah dan pahit hanya Allah yang menentukan.
Inilah salah satu pelajaran penting dari kisah penciptaan Adam sebagai khalifah di atas muka bumi. Saat itu Allah menyampaikan kepada para malaikat akan kehendak Nya ; mengangkat seorang khalifah di atas muka bumi.
Para malaikat,dengan segala penghormatan dan pengagungan,menyatakan ;
“Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau”
Allah menjawab dengan firman Nya:
Pembaca, baarakallahu fiik…
Seharusnya,ayat di atas selalu teringat di saat kita berharap untuk meraih impian atau berharap terhindar dari kepahitan. Ingatlah selalu! Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang tidak kita ketahui. Yakinlah selalu! Segala sesuatu pasti ada hikmahnya. Cepat atau lambat hikmah dan rahasia itu akan tersingkap.Sekalipun tidak di dunia fana,tentu di akhirat sana.
Siapa yang tak ingin harta? Tiap-tiap jiwa yang mampu bernafas tentu sangat tertarik dengan harta. Usaha demi usaha lalu dilanjutkan lagi dengan usaha,ternyata harta belum juga diraih. Hidup dalam kefakiran dan kekurangan. Siapa yang tak ingin kaya? Siapa pula yang ingin hidup menderita?
Berbaiklah prasangka dengan kefakiran Anda! Mungkin,itu lebih baik!
Hiburlah hati dengan mendengar sabda Nabi,
Hiburlah hati dengan mendengar firman Allah,
Ya…mungkin,ini lebih baik! Belum tentu jika kita berharta,kita akan mampu menggunakannya di jalan Allah. Barangkali jika berharta,kita justru lupa dan lalai dari Nya.
Pembaca,rahimakallahu…
Demikianlah sikap dan karakter seorang muslim! Menyerahkan dan pasrah dengan sepenuh hati dengan keputusan Allah.Kita hanya berencana dan Allah yang mengatur. Kita ingin ini ingin itu,berharap ini juga berharap itu .Sangat banyak keinginan kita. Kita pun tidak ingin begini tidak ingin begitu,tidak mau ke sana tidak mau ke sini.Banyak hal yang tidak kita inginkan.
Namun,camkanlah dengan kuat ayat Allah berikut ini,
Syaikh As Sa’di menerangkan ayat ini,
“Ayat-ayat ini berlaku secara umum. Perbuatan-perbuatan kebaikan,yang tidak disuka oleh jiwa karena dirasa berat,sesungguhnya adalah kebaikan,tanpa ada keraguan sedikit pun.
Demikian pula,amalan-amalan buruk,walau disenangi oleh jiwa karena ada bayangan semu akan ketenangan dan kelezatan,sesungguhnya adalah kejahatan,tanpa ada sedikit pun keraguan.”
Adapun urusan dunia tidak selamanya demikian. Terkadang, seorang hamba mukmin jika ia menginginkan sesuatu lalu Allah menghadirkan sebuah sebab yang menghalangi dirinya untuk meraih apa yang ia harapkan,justru hal itu lebih baik untuknya.
Semestinya,ia malah bersyukur dan meyakini bahwa keputusan yang terjadi adalah lebih baik. Sebab,hamba mukmin sangat meyakini jika Allah lebih mengasihi dirinya dibandingkan ia terhadap dirinya sendiri.Ia pun yakin jika Allah Maha Tahu dan Maha Mampu untuk memberikan yang terbaik untuknya”[3]
Pembaca,hafidzakallahu…
Jelasnya,tugas hamba adalah berusaha dan berikhtiar. Tidak lupa ia hiasi dengan doa dan permohonan kepada Dzat Yang Maha Kuasa. Kemudian,apapun keputusan dari Nya,setiap hamba harus berprasangka baik.
Mungkin,ini lebih baik!
Rasulullah bersabda,
Mudah-mudahan kita selalu berada di dalam lingkaran ridha dan sabar atas ketentuan-ketentuan Allah Ta’ala.Sedih dan kecewa lumrah saja jika muncul karena harapan yang “belum” terwujud.Namun,sedih dan kecewa itu hanyalah sementara.Tidak akan berkepanjangan.
Sebab kita yakin ; mungkin,ini lebih baik!
Wallahu a’lam
Solo,11 Syawal 1433 H
Sumber: http://www.salafy.or.id/kewanitaan/mungkinini-lebih-baik/
renungan : apa yang kamu pinta ?
Hanya satu permohonan yang benar-benar akan dikabulkan.
Hanya satu permintaan yang akan didengar.
Hanya satu hal yang akan terjadi dengan satu doa yang Anda panjatkan.
Kira-kira apakah yang akan Anda pinta… ?
Cita-cita yang belum tercapai…?
Angan-angan yang masih menjadi impian…?
Yang tentunya setiap orang berbeda-beda.
Ada yang menginginkan rumah mewah lengkap dengan segala isinya.
Istri atau suami yang menawan, bagi yang belum memiliki pasangan.
Mobil termahal yang pernah ada di muka bumi ini.
Usaha yang menjajikan.
Dan lain sebagainya, semua sesuai dengan kondisi masing-masing.
Namun, kalau direnungkan ternyata permohonan hamba itu sepadan dengan kualitas ilmu dan wawasan yang dimilikinya. Mungkin permohonan seorang tukang sampah tidaklah sama dengan doa seorang bupati. Doa tukang becak mungkin tidak setinggi permintaan seorang boss di sebuah perusahaan. Doa anak kecil tidaklah sama dengan doa orang dewasa.
Simaklah kisah seorang pria di masa Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam yang mendapatkan sebuah kesempatan emas untuk memohon, apakah yang dia mohon?
Pria itu adalah seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam yang bernama Rabi’ah bin Ka’ab al Aslami radiyallahu ‘anhu, dia tidak memiliki rumah, karena ia biasa tidur bersama Ashabussuffah di tempat yang disediakan di Masjid Nabawi, namun dia senantiasa mengisi waktunya untuk berkhidmat kepada Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam.
Bacalah kisah selengkapnya dari sang pelaku sejarah sendiri, Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan bahwa Rabi’ah bin Ka’ab al Aslami radhiyallahu ‘anhu berkata, “Dahulu aku biasa melayani Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam, aku menyelesaikan dan memenuhi keperluannya sepanjang siang, sampai beliau melaksanakan shalat Isya’, kemudian aku duduk di sisi pintunya ketika beliau masuk ke dalam rumahnya, aku berkata kepada diriku, mungkin Rasulullah memiliki keperluan (sehingga aku sudah siap melayaninya), aku terus mendengar beliau mengatakan, “Subhanallah Subhanallah Wabihamdihi”, sehingga aku lelah kemudian aku pulang atau aku dikalahkan oleh mataku sehingga aku tertidur di sana.
Pada suatu hari beliau berkata kepadaku karena melihat semangat dan kesungguhanku dalam membantu dan melayani beliau,
”Mintalah kepadaku wahai Rabi’ah! Niscaya aku akan memberimu”.
Mendengar tawaran itu aku berkata kepada beliau, “Aku akan berpikir dahulu wahai Rasulullah! Nanti aku akan memberitahukannya kepadamu”.
Maka akupun berpikir dalam diriku, aku mengetahui bahwa dunia itu fana dan akan sirna, dan sesungguhnya padanya aku telah memiliki rezeki yang sudah ditentukan yang akan mencukupiku dan mendatangiku”.
Setelah merenung dan memikirkannya, akhirnya Rabi’ah mencapai suatu keputusan, dan bergumam, “Kalau begitu aku akan meminta kepada Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam untuk akhiratku, sesungguhnya beliau memiliki kedudukan yang mulia di sisi Allah”.
Maka akupun mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam, dan tatkala berjumpa dengan beliau, Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam berkata kepadaku, “Apakah yang telah kamu buat, wahai Rabi’ah?
Aku menjawab, “Wahai Rasulullah, aku meminta kepadamu agar engkau memberi syafaat kepadaku di sisi Rabb-mu agar Dia membebaskanku dari api neraka”.
Dalam riwayat Imam Muslim, Rabi’ah berkata, “Aku memohon agar dapat menemanimu di Surga”.(Subhanallah…..!)
Mendengar permohonanku itu, Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bertanya, “Siapakah kiranya yang telah menyuruhmu untuk meminta hal ini?”.
Rabi’ah menjawab, “Demi yang mengutusmu dengan kebenaran, tidak ada seorangpun yang menyuruhku, namun tatkala engkau berkata, ‘Mintalah kepadaku niscaya aku akan memberimu’, sedangkan engkau memiliki kedudukan yang mulia di sisi Allah, maka akupun berpikir dalam diriku, aku mengetahui bahwa dunia ini fana dan akan sirna, dan sesungguhnya di dunia aku telah memiliki rezeki yang sudah ditentukan yang akan mencukupiku dan mendatangiku, akupun berkata (dalam diriku), ‘Kalau begitu aku akan meminta kepada Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam untuk akhiratku.’”
Mendengarkan penjelasanku beliau berdiam sejenak, kemudian berkata kepadaku,
إِنِّي فَاعِلٌ، فَأَعِنِّي عَلَى نَفْسِكَ بِكَثْرَةِ السُّجُودِ
“Aku akan memenuhi permintaanmu, maka bantulah aku atas dirimu dengan engkau banyak-banyak bersujud (banyak-banyak melaksanakan shalat) “.(HR Ahmad)
Subhanallah, itulah yang dipinta Rabi’ah untuk satu kesempatan emas yang tidak terulang: Diselamatkan dari api neraka agar dapat menikmati indahnya surga yang seluas langit dan bumi.
Menemani sang kekasih di surga Firdaus.
Bagaimanakah sikap kita andai tawaran itu disodorkan kepada kita?
Penulis: Ustadz Syafiq Riza Basalamah, M.A.
Artikel www.salafiyunpad.wordpress.con
arti penting umur manusia
mempersiapkan bekal pernikahan dan biaya pernikahan yang itu terkadang didapat setelah ia bekerja keras dan lama mengumpulkannya. Lalu yang menjadi buah pertanyaan bagi kita sudahkah kita mempersiapkan perbekalan untuk suatu perjalanan yang tiada akhirnya? Yakni perjalanan akhirat. Dunia ini tidak lain hanyalah tempat singgah sementara, yang mana manusia akan melanjutkan perjalanannya kenegeri akherat yang tiada akhirnya.
Maka sudah semestinya kita mempersiapkan perbekalan untuk kehidaupan panjang yann tiada akhirnya. Allah berfirman,
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Hisablah diri kalian sebelum dihisab, perhatikanlah tentang apa yang sudah kalian simpan dari amal shalih untuk hari kebangkitan. Serta (hal-hal) yang dinampakkan kepada Rab kaliaan.”[1]
Namun amat sangat disayangkan masih ada sebagian kaum muslimin yang berprinsip, baru akan memperbanyak ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah setelah berusia senja, setelah pensiun, atau purna tugas, padahal dia tidak tahu umur berapa ia akan meninggal.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Sesungguhnya banyak berangan-angan adalah modalnya orang-orang yang bangkrut.”[2]
Abdullah bin Umar berkata,
Maka janganlah lewatkan kesempatan hidup ini sebelum datangnya kematian. Allah berfirman,
Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam juga bersabda,
Berkata Al-Munawi, “Lakukanlah lima perkara sebelum datang lima perkara. “Hidupmu sebelum matimu” yakni pergunakanlah (hidupmu pada) hal-hal yang akan memberikan manfaat setelah matimu, karena orang yang telah mati telah terputus amalannya, pupus harapannya, datang penyesalannya serta beruntun kesedihannya. Maka gadaikanlah dirimu untuk kebaikanmu. “Dan masa sehatmu sebelum sakitmu” yakni manfaatkanlah (kesempatan) senggangmu didunia ini sebelum disibukkan dengan kedahsyatan hari kiamat yang awal persinggahannya adalah alam kubur. Manfaatkanlah kesempatan yang diberikan, semoga kamu selamat gdari siksa dan kehinaan. “Dan masa mudamu sebelum masa tuamu”, yakni lakukan ketaatan saat kamu mampu sebelum datang usia tu manghinggapimu., sehingga engkau akan menyesali perbuatan yang telah engkau sia-siakan dari kewajiban terhadap Allah ta’ala. “Dan masa kayamun sebelum masa faqirmu” yakni ,memanfaatkan dengan bersedekah atas kelebihan hartamu sebelum engkau jatuh kepa musibah yang menjadikanmu faqir, (jika demikian) maka engkau akan menjadi faqir di dunia dan di akherat. Kelima hal ini tidak diketahui kadar besarnya kecuali setelah hilang.”[7]
Sebagian ahliu tafsir menjelaskan arti, “Telah datang kepadamu peringatkan” yakni: uban.
Demikian juga apabila Allah telah memberikan umur hingga seorang mencapai umur 60 tahun, berarti Allah tidak meninggalkan sebab lagi agar seseorang memilki alasan. Kesempatan telah Allah berikan dan umur telah dipanjangkan. Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda,
Maksud hadits ini adalah bahwa tidak ada lagi alasan baginya, seperti mengatakan, “Kalau umurku dipanjangkan, maka aku akan melakukan apa yang aku diperintahkan untuknya.” Dijadikannya umur empat puluh tahun sebagai batas udzur seseorang karena umur tersebut adalah umur yang mendekati ajal dan umur yang seharusnya seseorang kembali kepada Allah, khusyu’, dan mewaspadai datangnya kematian. Seorang yang lebih berumur enam puluh tahun hendaknya ia lebih menekuni amalan akherat secara total, karena sudah tidak mungkin lagi akan kembali dalam kondisinya yang pertama ketika dalam kondisi kuat dan semangat.”[9]
Maksud hadits ini adalah bahwa keumuman umur umat ini antara 60 hingga 70 tahun, dengan realita yang bisa disaksikan. Dimana ada juga diantara umat ini yang (mati) sebelum umur 60 tahun. Ini termasuk dari rahmat Allah dan kasih sayangnya supaya umat ini tidak terlibat dalam kehidupan dunia kecuali hanya sebentar. Karena umur, badan, dan rizki umat-umat terdahulu lebih besar sekian kali lipat dibandingkan umat ini. Dahulu ada yang diberi umur seribu tahun, panjang tubuhnya mencapai sekitar 80 hasta atau kurang. Satu biji gandum besarnya seperti pinggang sapi. Satu delima diangkat oleh sepuluh orang. Mereka mengambil dari dunia sesuai dengan jasad dan umur mereka, sehingga mereka sombong dan berpaling dari Allah. Dan manusia pun terus mengalami bentuk penurunan fisik, rizki, dan ajal. Maka jadilah umat ini sebagai umat yang terakhir, yang mengambil rizki yang sedikit, dengan badan yang lemah, dan pada masa yang pendek supaya mereka tidak menyombongkan diri. Ini adalah bentuk kasih sayang Allah ta’ala kepada mereka.”[11]
Seorang yang banyak kebaikannya, setiap kali dipanjangkan umurnya, maka akan banyak amalannya dan bertambajh pahala kebaikannya,
Dahulu ada dua orang yang datang kepada Nabi shallallahu’alaihi wasallam dan sama-sama masuk Islam. Salah satunya lebih bersemangat untuk beramal dari pada yang lainnya. Orang yang bersemanagat tersebut ikut pertempuran dan terbunuh. Temennya yang satu masih hidup satu tahun setelahnya, lalu meninggal diatas ranjangnya. Maka ada shahabat bernama Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu’anhu bermimpi tentang dua orang tersebut. Dalam mimpinya keduanya berada dipintu sorga. Maka orang yang matinya diatas ranjangnya dipersilahkan masuk sorga terlebih dahulu. Setelah itu temannya yang terbunuh dipersilahkan masuk. Pada pagi jharinya Thalhah bercerita kepada orang-orang dan mereka merasa takjub dengan hal tersebut, berita mimpi Thalhah dan takjubnya manisia pun sampai kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda, “Bukankah (orang yang mati diranjangnya) ini masih hidup setahun setelah (kematian temennya yang terbunuh dijalan Allah) itu? Para shahabat menjawab, “Benar”. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bertanya lagi, “Dan ia mendapati bulan Ramadhan lalu ia puasa dan shalat sekian dan sekian dalam setahun?” para shahabat menjawab, “Benar”. Rasulullah bersabda, “Jarak (derajat) antara keduanya lebih jauh dari pada jarak antara langit dan bumi.”[13]
Karena mat berharga dan mahalnya umur seorang mu’min, maka dahulu ada seorang salaf mengatakan, “Sungguh satu jam kamu hidup padanya dengan kamu beristighfar kepada Allah lebih baik dari pada kamu mati selama setahun.
Dan dahulu ada seorang salaf yang sudah tua ditanya, “Apakah kamu ingin mati?” jawabnya, “Tidak. Karena masa masa muda dan kejahatannya telah berlalu, dan kini datang masa tua bersama kebaikannya. Jika aku berdiri aku mengucapkan bismillah, jika aku duduk aku mengucapkan alhamdulillah. Aku ingin untuk terus dalam kedaan seperti ini.”
Dan ada juga seorang salaf lainnya yang sudah tua ditanya, “Apa yang masih masih tersisa dari keinginanmu didunia ini?” Dia menkjawab, “Menangisi dosa-dosa yang telah aku perbuat.”
Oleh karena itu banyak dari salaf kita yang menangis ketika mau meninggal. Bukan karena sedih berpisah dengan kenikmatan dunia, mnamun bersedih lkarena terputus dengan amalan-amalan shalat malam yang dia lakukan, puasa, tilawatul Qu’an dan yang lainnya. Hal ini seperti yang dialami oleh Yazid bin Aban Ar-Raqqasyi rahimahullah.[14]
Seorang mu’min selalu meminta yang terbaik kepada Allah. Karena seseorang tidak tahu apakah setelah kematian kondisinya lebih baik atau justeru sebaliknya. Dengan kematian, seorang telah terputus dari amalannya dan tidak bermanfaat lagi taubat dan penyesalan.
Habib bin ‘Isa Al-Farisi rahimahullah merasa gusar ketika kematian menjemputnya. Ia mengatakan, “Sunguh akan akan pergi dengan menempuh perjalanan jauh yang belum pernah aku tempuh. Aku akan menelusuri suatu jalan yang belum pernah aku telusuri. Akau akan berjalan menunggu kekasihku (Allah ta’ala) yang belum pernah sama sekali aku melihat-Nya. Dan aku akan melihat kedahsyatan yang belum pernah aku melihat sebelumnya”[16]
Adapun seorang mu’min tidaklah bertambah umur kecuali akan bertambah baginya kebaikan. Oleh kerena itu diperbolehkan bagi seseorang untuk meminta kepada Allah agar dipanjangkan umur. Sebagai mana Nabi shallallahu’alaihi wasallam pernah mendoakan Anas bin Malik radhiyallahu’anhu,
Berkata Syaikh Al-Albani, “Pada hadits diatas, terdapat faedah tentang bolehnya mendoakan panjangnya umur bagi seseorang.”[18]
Namun seyogyanya doa meminta panjang umur tersebut dibarengi dengan permohonan kebaikan dan barakah. Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata, “Tidak sepantasnya seseorang mengucapkan (selamat) panjang umur, karena panjangnya umur terkadang baik dan terkadang jelek. Orang yang jelek adalah seorang yang panjang umurnya lagi jelek amalannya. Berdasarkan hal tadi maka tidak mengapa seseorang mendoakan, ‘Semoga Allah panjangkan umurmu diatas ketaatan kepada Allah atau yang semisalnya’.”[19]
Oleh karena itu sangat penting bagi kita untuk mencermati lembaran-lembaran mereka didalam hal memanfaatkan waktu untuk ketaatan, agar semangat menjadi tumbuh dan kemalasan akan terenyahkan. Dalam Al-Qur’an Allah telah mensifati hamba-hamba-Nya yang diridhoi-Nya dengan firman-Nya,
Mereka melewati malam-malam yang panjang bukanah untuk begadang dalam hal-hal yang tidak bermanfaat atau tidur terlelap sepanjang malam, akan tetapi mereka melewatinya untuk beristighfar dari kesalahan-kesalahan dan kekurangan mereka. Demikian pula Ibrahim dan Ismail ‘alaihimassalam tatkala selesai membangun Ka’bah, rumah Allah yang termulia, ditempat yang paling mulia yaitu Makkah. Keduanya berdoa:
Berbeda dengan seorang yang jelek, mereka menggabungkan antara jeleknya perbuatan dan sikap merasa aman dari adzab Allah.
Inilah shahabat Abdullah bin umar radhiyallahu’anhuma, ketika Abu Hurairah radhiyallahu’anhu memberitahukannya tentang hadits Nabi shallallahu’alaihi wasallam bahwa orang yang menshalati janazah akan mendapatkan pahala satu qirath, dan barang siapa yang mengantarkannya sampai kubur dia mendapatkan pahala dua qirath. Abdullah bin Umar belum pernah mendengar hadits itu, lalu ia mengutus seseorang untuk bertanya kepada ‘Aisyah, dan ia menjawab, “Benar apa yang dikatakan Abu Hurairah.” Ketika utusan tadi telah pulang dan mengabarkannya, Abdullah mengatakan dengan ucapan penyesalan, “Sungguh kita telah menyia-nyiakan qirath yang banyak.”[20]
Demikianlah Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhuma sangat menyesal karena telah terlewatkan untuk mendapat pahala yang besar. Namun pernahkah kita menyesalai atas terluputnya amalan ketaatan yang terluput pada diri kita? Atau justeru yang kita sesali adalah terluputnya kemewahan dunia.
Dahulu apabila seorang Ahli hadits mendiktekan hadits kepada murid-muridnya dan ia berhenti sejenak untuk memberi kesempatan muridnya dalam rangka menulis hadits, ia memanfaatkan waktu yang sejenak itu untuk beristighfar dan bertasbih.
Dahulu ada yang menyebutkan tentang Al-Imam Abdullah bin Al-Imam Ahmad rahimahullah, “Tidaklah aku melihatnya kecuali ia sedang membaca, tersenyum atau sedang meneliti (suatu permasalahan agama).
Al-Imam Adz-Dzahabi menyebutkan tentang biografi Abdul Wahhab bin Al-Wahhab bin Al-Amin rahimahullah bahwa waktunya sangat terjaga. Tidaklah berlalu suatu saat kecuali dia sedang membaca, berdzikir, tahajjud, atau setor hafalan.[21]
“Wahai Allah aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan, kemalasan, pengecut, dan kepikunan.”[22]
Bersiap-siaplah Untuk Menghadapi Akherat
Ketahuilah bahwa setan senantiasa membisikan untuk mengakhirkan taubat hingga akhir umurnya. Sehingga apabila telah mati barulah ia merasa menyesal akibat apa yang telah ia sia-siakan dari umurnya untuk menuruti syahwat dunianya yang semu. Ia berangan-angan agar dikembalikan kedunia agar beramal shaleh namun itu sudah tidak bermanfaat lagi. Allah sudah memperingatkan para hamba untuk bersiap-siap menghadapi akherat. Dan memerintahkan mereka untuk segera bertaubat dari kesalahan-kesalahn dan dosa. Allah berfirman,
Berkata Ali bin Abi Thalib, “Dunia pergi membelakangi, sedangkan akherat telah datang menyambut dan masing-masing dari keduanya memilki anak-anak (pecinta) nya. Maka jadilah kalian termasuk ahli akherat dan janganlah menjadi ahli dunia. Karena hari ini (kehidupan didunia) adalah tempat beramal bukan hisab, dan besok (kiamat) hanya ada hisab bukan amal.”[23]
Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda,
Oleh karena itu wahai kaum muslimin usia adalah hakekat hidup kita. Makin bertambah usia, makin berkurang umur kita. Mengherankan tingkah sebagian orang yang merayakan ulang tahunnya setiap tahun. Seringkali diiringi dengan hinggar binggar dan hura-hura. Lupa saat ajal tiba, tidak ada lagi “kesempatan kedua” untuk bertaubat dan mengayam kebaikan. Adapun orientasi hidup seorang mukmin adalah beribadah kapada Allah dengan semaksimal mungkin dan munggunakan waktunya untuk meningkatkan amal shalih, yang merupaka jalan menuju sorga. Wallahu a’lam Bish Shawwab.
oleh : http://www.serambiyemen.com/2012/03/arti-penting-umur-manusia.html
pengertian nasehat
Imam Ibnu Rajab rahimahullah (wafat 795 H/1393 M) menukil ucapan Imam Khaththabi rahimahullah (wafat 388 H/998 M), "Nasehat itu adalah suatu kata untuk menerangkan satu pengertian, yaitu keinginan kebaikan bagi yang dinasehati."[2]
Imam Khaththabi rahimahullah menjelaskan arti kata "nashaha" sebagaimana dinukil oleh Imam Nawawi rahimahullah, "Dikatakan bahwa "nashaha" diambil dari "nashahtu al-'asla", apabila saya menyaring madu agar terpisah dari lilinnya sehingga menjadi murni dan bersih, mereka mengumpamakan pemilihan kata-kata agar tidak berbuat kesalahan dengan penyaringan madu agar tidak bercampur dengan lilinnya.
Dan dikatakan kata "nasehat" berasal dari "nashaha ar-rajulu tsaubahu" (orang itu menjahit pakaiannya), apabila dia menjahitnya, maka mereka mengumpamakan perbuatan penasehat yang selalu menginginkan kebaikan orang yang dinasehatinya dengan jalan memperbaiki pakaiannya yang robek."[3]
maksudnya wuquf di Arafah merupakan tiang serta rukun dari ibadah haji.
Al-Imam Muhammad bin Nashr Al-Marwazi rahimahullah (wafat 294 H/907 M) berkata dalam kitabnya Ta'dzimu Qadri As-Shalat mengenai arti nasehat kepada Allah.
"Sebagian ahli ilmu berkata: Penjelasan arti nasehat secara lengkap adalah perhatian hati terhadap yang dinasehati siapa pun dia, dan nasehat tersebut hukumnya ada dua, yang pertama wajib dan yang kedua sunnah. Maka nasehat yang wajib kepada Allah, yaitu perhatian yang sangat dari penasehat dengan cara mengikuti apa-apa yang Allah cintai, berupa pelaksanaan kewajiban dan dengan menjauhi apa-apa yang Allah haramkan. Sedangkan nasehat yang sunnah adalah dengan mendahulukan perbuatan yang dicintai Allah dari pada perbuatan yang dicintai oleh dirinya sendiri, yang demikian itu dalam dua perkara yang berbenturan. Yang pertama untuk kepentingan dirinya sendiri dan yang lain untuk Rabbnya, maka dia memulai mengerjakan sesuatu untuk Rabbnya terlebih dahulu dan mengakhirkan apa-apa yang untuk dirinya sendiri, maka ini adalah penjelasan nasehat kepada Allah secara global, baik yang wajib maupun yang sunnah. Adapun perinciannya akan kami sebutkan sebagiannya agar bisa dipahami dengan lebih jelas. Maka nasehat yang wajib kepada Allah adalah menjauhi laranganNya, dan melaksanakan perintahNya dengan seluruh anggota badannya apa-apa yang mampu ia lakukan, apabila ia tidak mampu melaksanakan kewajibannya karena suatu alasan tertentu seperti sakit atau terhalang dengan sesuatu atau sebab-sebab lainnya, maka ia tetap berniat dengan sungguh-sungguh untuk melaksanakan kewajiban tersebut apabila penghalang tadi telah hilang.
Allah Subhana wa Ta'ala berfirman.
لَيْسَ عَلَى الضُّعَفَاءِ وَلا عَلَى الْمَرْضَى وَلا عَلَى الَّذِينَ لا يَجِدُونَ مَا يُنْفِقُونَ حَرَجٌ إِذَا نَصَحُوا لِلَّهِ وَرَسُولِهِ مَا عَلَى الْمُحْسِنِينَ مِنْ سَبِيلٍ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Maka Allah menamakan mereka sebagai "Al-Muhsinin" (orang-orang yang berbuat baik) karena perbuatan mereka, berupa nasehat kepada Allah dengan hati-hati mereka yang ikhlas, ketika mereka terhalangi untuk berjihad dengan jiwa raganya, dan dalam kondisi tertentu mungkin bagi seorang hamba dibolehkan meninggalkan amalan-amalan, tetapi tidak dibolehkan meninggalkan nasehat kepada Allah, seperti orang yang sakit yang tidak bisa menggerakkan badannya dan tidak dapat berbicara, tetapi akalnya masih sehat, maka belum hilang kewajiban nasehat kepada Allah dengan hatinya, disertai dengan penyesalan akan dosa-dosanya, dan berniat dengan sungguh-sungguh apabila sehat untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban yang dibebankan oleh Allah kepadanya, dan meninggalkan apa-apa yang Allah larang untuk mengerjakannya, kalau tidak (yaitu tidak ada amalan hati, berupa cinta, takut, dan harap kepada Allah dan niat untuk melaksanakan kewajiban dan meninggalkan laranganNya), maka ia tidak disebut telah menasehati kepada Allah dengan hatinya. Dan termasuk nasehat kepada Allah adalah taat kepada Rasul Nya shalallahu 'alaihi wasallam dalam hal yang beliau wajibkan kepada manusia berdasarkan perintah Rabbnya, dan termasuk nasehat yang wajib kepada Allah adalah dengan membenci dan tidak ridha terhadap maksiat orang yang berbuat maksiat dan cinta kepada ketaatan orang yang taat kepada Allah dan RasulNya.
Sedangkan nasehat yang sunnah, bukan yang wajib, adalah dengan berjuang sekuat tenaga untuk lebih mengutamakan Allah dari setiap yang ia cintai dalam hati dan seluruh anggota badan sampai-sampai dari dirinya sendiri, lebih-lebih lagi dari orang lain. Karena seorang penasehat apabila bersunggguh-sungguh kepada siapa yang dicintainya, dia tidak akan mementingkan dirinya, bahkan berupaya keras melakukan hal-hal yang membuat senang dan cinta siapa yang
dicintainya, maka begitu pula penasehat kepada Allah, dan barangsiapa yang melakukan ibadah nafilah untuk Allah tanpa dibarengi dengan kerja keras, maka dia adalah penasehat berdasarkan tingkatan amalnya, tetapi tidak melaksanakan nasehat dengan sebenarnya secara sempurna." [5]
Syaikh Muhammad Hayat As-Sindi rahimahullah (wafat 1163 H/1749 M) berkata :
"(Nasehat) kepada Allah adalah agar seorang hamba menjadikan dirinya ikhlas kepada Tuhannya dan meyakini bahwa Dia adalah Ilah Yang Esa dalam uluhiyahNya, dan bersih dari noda syirik, tandingan, dan permisalan, serta apa-apa yang tidak pantas bagiNya.
Dan Dia itu mempunyai sifat segala kesempurnaan yang sesuai dengan keagunganNya, dan seorang muslim harus mengagungkanNya dengan sebesar-besar pengagungan, dan mengamalkan amalan zhahir dan batin yang Allah cintai dan menjauhi apa-apa yang Allah benci, dan dia cinta kepada apa-apa yang dicintai oleh Allah dan benci kepada apa-apa yang Allah benci, dan ia meyakini apa-apa yang Allah jadikan sesuatu itu benar sebagai suatu kebenaran, dan yang batil itu sebagai suatu kebatilan, dan hatinya penuh dengan cinta dan rindu kepadaNya, ia bersyukur akan nikmat-nikmatNya, dan sabar atas bencana yang menimpanya, serta ridha dengan qadlaNya."[6]
Imam Nawawi (wafat 676 H/1277 M) dan Ibnu Rajab rahimahumallah menyebutkan bahwa termasuk nasehat kepada Allah adalah dengan berjihad melawan orang-orang yang kufur kepadaNya dan berda'wah mengajak manusia kejalan Allah.[7]
Imam Al-Khaththabi rahimahullah berkata.
"Hakikat kata 'kepada Allah' sesungguhnya kembali kepada hamba itu sendiri dalam nasehatnya kepada diri sendiri, karena Allah Ta'ala tidak butuh akan nasehatnya penasehat."[8]
________
Foot Note.
[1]. Lihat Lisanul Arab, juz 14, bagian kata "Nashaha"
[2]. Jami'ul Ulum wal Hikam, Juz 1 hal. 219
[3]. Syarah Shahih Muslim, Juz 2, hal. 33
[4]. Lihat Syarah Shahih Muslim, Juz 2 hal. 33 dan Syarah Al-Arba'in An-Nawawiyah, oleh Ibnu Daqiq Al-'Ied hal. 32
[5]. Ta'dzimu Qadri As-Shalat, Juz 2, hal. 691-692
[6]. Dalam kitabnya Syarah Al-Arba'in An-Nawawiyah oleh Syaikh Muhammad Hayat As-Sindi rahimahullah, hal. 47-48
[7]. Lihat Jami'ul Ulum wal Hikam, Juz 1 hal.222, dan Syarah Shahih Muslim, Juz 2 hal. 33
[8]. Lihat Syarah Shahih Muslim, Juz 2 hal. 33
Sumber : http://www.almanhaj.or.id/content/1832/slash/0
katakan saja "saya tidak tahu"
Di antara prinsip Syeikh Ibnu Baz adalah tidak malu untuk mengatakan, “Saya tidak tahu”.
Ini adalah prinsip yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ عَنْ أَبِيهِ َنَّ رَجُلاً أَتَى النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ الْبُلْدَانِ شَرٌّ قَالَ فَقَالَ « لاَ أَدْرِى ». فَلَمَّا أَتَاهُ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلاَمُ قَالَ « يَا جِبْرِيلُ أَىُّ الْبُلْدَانِ شَرٌّ ». قَالَ لاَ أَدْرِى حَتَّى أَسْأَلَ رَبِّى عَزَّ وَجَلَّ. فَانْطَلَقَ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلاَمُ ثُمَّ مَكَثَ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَمْكُثَ ثُمَّ جَاءَ فَقَالَ يَا مُحَمَّدُ إِنَّكَ سَأَلْتَنِى أَىُّ الْبُلْدَانِ شَرٌّ فَقُلْتُ لاَ أَدْرِى وَإِنِّى سَأَلْتُ رَبِّى عَزَّ وَجَلَّ أَىُّ الْبُلْدَانِ شَرٌّ فَقَالَ َسْوَاقُهَا.
عن ابن عمر أن رجلا سأل النبي صلى الله عليه و سلم : أي البقاع شر ؟ قال : ( لا أدري حتى أسأل جبريل ) فسأل جبريل فقال : لا أدري حتى أسأل ميكائيل فجاء فقال : ( خير البقاع المساجد وشرها الأسواق )
قال شعيب الأرنؤوط : حديث حسن
Sumber : http://ustadzaris.com/katakan-saja-saya-tidak-tahu