“Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta kepemimpinan, karena jika engkau diberi tanpa memintanya, niscaya engkau akan ditolong (oleh Allah dengan diberi taufik kepada kebenaran). Namun jika diserahkan kepadamu karena permintaanmu, niscaya akan
dibebankan kepadamu (tidak akan ditolong)”.
Hadist ini diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhori dalam shahih-nya no.7146 dengan judul ”Siapa yang tidak meminta jabatan, Allah akan menolongnya dalam menjalankan tugasnya” dan no.7147 dengan judul “Siapa yang minta jabatan akan diserahkan kepadanya (dengan tidak mendapatkan pertolongan dari Allah dalam menunaikan tugasnya)”. Diriwayatkan pula oleh Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya no.1652 yang diberi judul oleh Al-Imam An-Nawawi “Bab larangan meminta jabatan dan berambisi untuk mendapatkannya”.
Masih bekaitan dengan permasalahan di atas, juga didapatkan riwayat dari Abu Dzar Al-Ghifari, ia berkata: “Wahai Rasulullah, tidakkah engkau menjadikanku sebagai pemimpin” Mendengar permintaanku tersebut,beliau menepuk pundakku seraya bersabda:
“Wahai Abu Dzar, engkau seorang yang lemah sementara kepemimpinan itu adalah amanah. Dan nanti pada hari kiamat, ia akan menjadi kehinaan dan penyesalan kecuali orang yang mengambil dengan haknya dan menunaikan apa yang seharusnya ia tunaikan dalam kepemimpinan tersebut.”Dalam riwayat lain, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
(shahih, HR Muslim no.1825)
“Wahai Abu Dzar, aku memandangmu seorang yang lemah, dan aku menyukai untukmu apa yang kusukai untuk diriku. Janganlah sekali-kali engkau memimpin dua orang* dan janganlah engkau menguasai pengurusan harta anak yatim.”(Shahih, HR.Muslim no.1826)
Al-Imam An-Nawawi membawakan kedua hadist Abu Dzar di atas dalam kitab beliau Riyadush shalihin, Bab “ Larangan meminta jabatan kepemimpinan dan memilih untuk meninggalkan jabatan tersebut jika ia tidak pantas untuk memegangnya atau meninggalkan ambisi terhadap jabatan”.
◘ Kepemimpinan yang diimpikan dan diperebutkan
Menjadi seorang pemimpin dan memiliki sebuah jabatan merupakan impian semua orang kecuali sedikit dari mereka yang dirahmati oleh Allah. Mayoritas orang justru menjadikannya sebagai ajang rebutan khusunya jabatan yang menjanjikan lambaian rupiah(uang dan harta) dan kesenangan dunia lainnya.
Sunggguh benar sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam , ketika beliau menyampaikan hadist yang diriwayatkan dari Abu Hurairah rodhiyallahu anhu :
“ Sesungguhnya kalian akan nanti akan sangat berambisi terhadap kepemimpinan, padahal kelak di hari kiamat ia akan menjadi penyesalan”.(Shahih, HR. Al-Bukhari no.7148)
Bagaimana tidak, dengan menjadi seorang pemimpin, memudahkannya untuk memenuhi tuntutan hawa nafsunya berupa kepopuleran, penghormatan dari orang lain, kedudukan atau status sosial yang tinggi di mata manusia, menyombongkan diri dihadapan mereka, memerintah dan menguasai, kekayaan, kemewahan serta kemegahan.
Wajar bila kemudian untuk mewujudkan ambisinya ini, banyak elit politik atau ’calon pemimpin’ di bidang lainnya, tidak segan-segan melakukan politik uang dengan membeli suara masyarakat pemilih atau mayoritas anggota dewan. Atau ‘sekedar’ uang tutup mulut untuk meminimalisir komentar miring saat berlangsungnya masa pencalonan atau kampanye, dan sebagainya. Bahkan yang ekstrim, ia pun siap menghilangkan nyawa orang lain yang dianggap sebagai rival dalam perebutan kursi kepemimpinan tersebut. Atau seseorang yang dianggap seabagai duri dalam daging yang dapat menjegal keinginannya meraih posisi tersebut. Nas-alullah as-salamah wal’afiyah.
Berkata Al-Muhallab sebagaimana dinukilkan Fathul Bari (13/135):
”Ambisi untuk memperoleh jabatan kepemimpinan merupakan faktor yang mendorong manusia untuk saling membunuh. Hingga tertumpahlah darah, dirampasnya harta, dihalalkannya kemaluan-kemaluan wanita (yang mana itu semuanya sebenarnya diharamkan oleh Allah) dan karenanya terjadi kerusakan yang besar dipermukaan bumi .
Seseorang yang menjadi penguasa dengan tujuan seperti diatas, tidak akan mendapatkan bagiannya nanti di akhirat kecuali siksa dan adzab. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Itulah negeri akhirat yang Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri di muka bumi dan tidak pula membuat kerusakan. Dan akhir yang baik itu hanya untuk orang-orang yang bertaqwa.”(Al-Qashash: 83)
Al-Hafidz Ibnu Katsir rohimahullah dalam tafsirnya mengatakan:
“Allah mengabarkan bahwasanya negeri akhirat dan kenikmatannya yang kekal yang tidak akan pernah lenyap dan musnah, disediakan-Nya untuk hamba-hamba-Nya yang beriman, yang tawadhu’(merendahkan diri), tidak ingin merasa tinggi dimuka bumi yakni tidak menyombongkan diri dihadapan hamba-hamba Allah yang lain, tidak merasa besar, tidak bertindak sewenang-wenang, tidak lalim, dan tidak membuat kerusakan ditengah-tengah mereka.”(Tafsir Ibnu Katsir, 3/412).Berkata syaikh Ibnu ‘Ustaimin rohimahullah :
“seseorang yang meminta jabatan seringnya bertujuan untuk meninggikan dirinya dihadapan manusia, menguasai mereka, memerintahnya dan melarangnya. Tentunya tujuan yang demikian ini jelek adanya. Maka sebagai balasannya, ia tidak akan mendapatkan bahagianya di akhirat. Oleh karena itu seseorang dilarang untuk meminta jabatan.” (Syarh Riyadhus Shalihin, 2/469)
Sedikit sekali orang yang berambisi menjadi pimpinan, kemudian berpikir tentang kemaslahatan umum dan bertujuan memberikan kebaikan kepada hamba-hamba Allah dengan kepempinan yang kelak bisa dia raih.
Kebanyakan mereka justru sebaliknya, mengejar jabatan untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Program perbaikan dan janji-janji muluk yang digembar-gemborkan sebelumnya, tak lain hanyalah ucapan manis di bibir.
Hari-hari setelah mereka menjadi pemimpin yang kemudian menjadi saksi bahwa mereka hanyalah sekedar mengobral janji kosong dan ucapan dusta yang menipu.
Bahkan yang ada mereka berbuat zalim dan aniaya kepada orang-orang yang dipimpinnya. Ibarat belum mendapatkan posisi yang diincar tersebut, yang dipamerkan hanyalah kebaikan. Namun ketika jabatan berada dalam genggamannya, mereka lantas mempertontonkan apa yang sebenarnya diinginkannya dari jabatan tersebut.
Hal ini sesuai dengan pepatah ’musang berbulu domba’. Ini sungguh merupakan perbuatan yang memudharatkan diri mereka sendiri dan nasib orang-orang yang dipimpinnya.
Betapa rakus dan semangatnya orang-orang yang menginginkan jabatan ini, sehingga Rasulullah menggambarkan kerakusan terhadap jabatan seperti lebih dari dua ekor serigala yang kelaparan lalu dilepas di tengah segerombolan kambing. Beliau Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
”Tidaklah dua ekor serigala yang lapar dilepas ditengah gerombolan kambing lebih merusak daripada merusaknya seseorang terhadap agamanya karena ambisinya untuk mendapatkan harta dan kedudukan yang tinggi” (HR. Atirmidzi no.2482,dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahihul Musnad, 2/178).◘ Sifat seorang pemimpin
Di tengah gencarnya para elit politik menambang suara dalam rangka memperoleh kursi atau jabatan, maka layak sekali apabila hadits yang diriwayatkan dari Abdurrahman bin Samurah dan Abu Dzar diatas dihadapkan kepada mereka, khususnya lagi pada hadist abu Dzar yang menyebutkan kriteria yang harus diperhatikan dan merupakan hal mutlak jika ingin menjadi pemimpin.
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda kepada Abu Dzar:
”Wahai Abu Dzar engkau seorang yang lemah”. Ucapan seperti ini bila disampaikan secara terang-terangan memang akan memberatkan bagi yang bersangkutan dan akan membekas di hatinya.Namun amanahlah yang menuntut hal tersebut. Maka hendaknya dijelaskan kepada orang tersebut mengenai sifat lemah yang melekat padanya. Namun jika seseorang itu kuat, maka dikatakan padanya ia seorang yang kuat.
Dan sebaliknya, bila ia seoarang yang lemah maka dikatakan sebagaimana adanya. Yang demikian ini merupakan sebuah nasehat. Dan tidaklah berdosa orang yang mengucapkan seperti ini bila tujuannya untuk memberikan nasehat bukan untuk mencela atau mengungkit aib yang bersangkutan.
Syaikh Ibnu ’Utsaimin berkata:
”Makna ucapan Nabi kepada Abu Dzar menjadi seorang pemimpin karena ia memiliki sifat lemah, sementara kepemimpinan membutuhkan seseorang yang kuat lagi terpercaya. Kuat dari arti ia punya kekuasaan dan perkataan yang didengar/ditaati, tidak lemah dihadapan manusia. Karena apabila manusia menganggap lemah seseorang, maka tidak tersisa kehormatan baginya di sisi mereka, dan akan berani kepadanya orang yang paling dungu sekalipun. Akan tetapi apabila seseorang itu kuat dia dapat menunaikan hak Allah, tidak melampaui batas-batasan-Nya, dan punya kekuasaan. Maka inilah sosok pemimpin yang hakiki.”Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam juga menyatakan kepada Abu Dzar bahwa kepemimpinan itu adalah sebuah amanah.
(Syarh Riyadhus Shalihin, 2/472).
Karena memang kepemimpinan itu memiliki dua rukun, kekuatan dan amanah, hal ini dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dengan dalil :
”Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya .”( Al-Qashash: 26 )
Penguasa Mesir berkata kepada Nabi Yusuf ’alaihissalam:
”Sesungguhnya kamu mulai hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dapat dipercaya pada sisi kami. ”(Yusuf: 54)
Allah menyebutkan sifat Jibril denggan menyatakan: ”Sesungguhnya Al-Quran itu benar-benar firman Allah yang dibawa oleh utusan yang mulia(Jibril), yang mempunyai kekuatan, yang mempunyai kedudukan tinggi di sisi Allah Yang memiliki ’Arsy. Yang ditaati di kalangan malaikat lagi dipercaya.”(At-Takwir: 19-21)
Beliau (Syaikh ’Utsaimin) berkata:
”Amanah itu kembalinya kepada rasa takut pada Allah, tidak menjual ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit, dan tidak takut kepada manusia. Inilah tiga perangai yang Allah tetapkan terhadap setiap orang yang memutuskan hukuman atas manusia” Allah Ta’ala berfirman :Al-Imam Al-Qurthubi menyebutkan beberapa sifat dari seorang pemimpin ketika menafsirkan ayat:
”Maka janganlah kalian takut kepada manusia, tapi takutlah kepada-Ku. Dan jangan pula kalian menjual ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Siapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan maka mereka itu adalah orang-orang kafir.” (Al Maidah: 44) (As-Siyasah Asy-Syar’iyyah, hal 12-13)
“Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), kemudian Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: ‘Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu sebagai Imam(pemimpin) bagi seluruh manusia’. Ibrahim berkata:’(Dan saya mohon juga)’ dari keturunanku’. Allah berfirman: ‘Janjiku ini tidak mengenal orang-orang yang zalim’.” (Al-Baqarah: 124)
Beliau berkata: “sekelompok ulama mengambil dalil dengan ayat ini untuk menyatakan seorang Imam(pemimpin) itu harus dari kalangan orang yang adil, memiliki kebaikan dan keutamaan, juga dengan kekuatan yang dimilikinya untuk menunaikan tugas kepemimpinan tersebut.”(Al-jami’li Ahkamil Quran,2/74).
Sebenarnya masih ada beberapa syarat pemimpin yang tidak disebutkan disini karena ingin kami ringkas. Mudah-mudahan, pada kesempatan yang lain dapat kami paparkan.
◘ Nasehat bagi mereka yang sedang berlomba merebut jabatan/kepemimpinan
Kepemimpinan adalah amanah, sehingga orang yang menjadi pemimpin berarti ia tengah memikul amanah. Dan tentunya, yang namanya amanah harus ditunaikan sebagaimana mestinya. Dengan demikian tugas menjadi pemimpin itu berat, sehingga sepantasnya yang mengembannya adalah orang yang cakap dalam bidangnya.
Karena itulah Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam melarang orang yang tidak cakap untuk memangku jabatan karena ia tidak akan mampu mengemban tugas tersebut dengan semestinya. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda:
“Apabila amanah telah disia-siakan, maka nantikanlah tibanya hari kiamat. Ada yang bertanya:’Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan menyia-nyiakan amanah?’ Beliau menjawab: ’Apabila perkara itu diserahkan kepada selain ahlinya, maka nantikanlah tibanya hari kiamat’.”(Shahih, HR. Al-bukhari no.59)Selain itu, jabatan tidak boleh diberikan kepada seseorang yang memintanya dan berambisi untuk mendapatkannya. Abu Musa berkata: ”Aku dan dua orang laki-laki dari kaumku pernah masuk menemui Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Maka salah seorang dari keduanya berkata: ’Angkatlah kami sebagai pemimpin,wahai Rasulullah’. Temannya pun meminta hal yang sama.
Bersabdalah Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam :
”Kami tidak meyerahkan kepemimpinan ini kepada orang yang memintanya dan tidak pula kepada orang yang berambisi untuk mendapatkannya.” (HR. Al-Bukhari no.1733 Muslim)
Hikmah dari hal ini, kata para ulama, adalah orang yang memangku jabatan karena permintaannya, maka urusan tersebut akan diserahkan kepada dirinya sendiri dan tidak akan ditolong oleh Allah, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam kepada Abdurrahman bin Samurah diatas:
”bila engkau diberikan dengan tanpa memintanya, niscaya engkau akan ditolong (oleh Allah dengan diberi taufik kepada kebenaran). Namun bila diserahkan kepadamu karena permintaanmu niscaya akan dibebankan kepadamu(tidak akan ditolong). Siapa yang tidak ditolong maka ia tidak akan mampu. Dan tidak mungkin jabatan itu diserahkan kepada orang yang tidak cakap.” (Syarah Shahih Muslim, 12/208, Fathul Bari,13/133, Nailul Authar, 8/294).
Asy-syaikh ibnu ’Utsaimin berkata:
”Sepantasnya bagi seseorang tidak meminta jabatan apapun. Namun bila ia diangkat bukan karena permintaannya, maka ia boleh menerimanya. Akan tetapi janganlah ia meminta jabatan tersebut dalam rangka wara’ dan kehati-hatiannya dikarenakan jabatan dunia itu bukanlah apa-apa.” (Syarah Riyadhus Shalihin,2/470).
Al-Imam an-Nawawi berkata ketika mengomentari hadist Abu Dzar:
”Hadist ini merupakan pokok yang agung untuk menjauhi kepemimpinan terlebih lagi bagi seseorang yang lemah untuk menunaikan tugas-tugas kepemimpinan tersebut. Adapun kehinaan dan penyesalan akan diperoleh bagi orang yang menjadi pemimpin sementara ia tidak pantas dengan kedudukan tersebut atau mungkin ia pantas namun tidak berlaku adil dalam menjalankan tugasnya. Maka Allah menghinakannya pada hari kiamat, membuka kejelekannya, dan ia akan menyesal atas kesia-siaan yang dilakukannya. Adapun yang oarang yang pantas menjadi pemimpin dan ia dapat berlaku adil, maka ia akan mendapatkan keutamaan yang besar sebagaimana ditunjukkan oleh hadist-hadist yang shahih, seperti hadist: ”Ada tujuh golongan yang Allah lindungi mereka pada hari kiamat, diantaranya Imam(pemimpin) yang adil”. Dan juga hadist yang disebutkan setelah ini tentang orang-orang yang berbuat adil nanti di sisi Allah (pada hari kiamat) berada diatas mimbar-mimbar dari cahaya. Dengan demikian pula hadist-hadist yang lainnya. Kaum muslimin sepakat akan keutamaan hal ini. Namun bersamaan dengan itu karena banyaknya bahaya dalam kepemimpinan tersebut, Rasulullah memperingatan darinya, demikian pula ulama. Beberapa orang yang shalih dari kalangan pendahulu kita mereka menolak tawaran sebagai pemimpin dan mereka bersabar atas gangguan yang diterima akibat penolakan tersebut.” (Syarah Shahih Muslim, 12/210-211).
Ada sebagian orang menyatakan bolehnya meminta jabatan dengan dalil permintaan Nabi Yusuf kepada penguasa Mesir:
”Jadikanlah aku bendaharawan negara(Mesir), sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan.”(yusuf: 55)
Maka dijawab, bahwa permintaan beliau ini bukan karena ambisi beliau untuk memegang jabatan kepemimpinan. Namun semata karena keinginan beliau untuk memberikan kemanfaatkan kepada manusia secara umum sementara beliau melihat dirinya memiliki kemampuan, kecakapan, amanah, dan menjaga terhadap apa yang tidak mereka ketahui. (Tafsir Al-karimirrahman, hal.401).
Al-Imam Asy-Syaukani berkata:
”Nabi Yusuf karena kepercayaan para Nabi terhadap diri mereka dengan sebab adanya penjagaan dari Allah terhadap dosa-dosa mereka (ma’shum). Sementara syariat kita yang sudah kokoh (tsabit) tidak bisa ditentang dengan syariat umat yang terdahulu sebelum kita, karena mungkin meminta jabatan dalam syariat Nabi Yusuf pada waktu itu diperbolehkan.”(Nailul Authar, 8/294)
Ketahuilah wahai mereka yang sedang memperebutkan kursi jabatan dan kepemimpinan, sementara dia bukan yang pantas untuk mendudukinya, kelak pada hari kiamat kedudukan ini nantinya akan menjadi penyesalan karena ketidakmampuannya dalam menunaikan amanah sebagaimana mestinya.
Al-Qadhi Al-Baidhawi berkata:
”karena itu tidak sepantasnya orang yang berakal, bergembira dan bersenang-senang dengan kelezatan yang diakhiri dengan penyesalan dan kerugian.” (Fathul Bari, 13/134)◘ Faedah Hadist
- Kepemimpinan, jabatan, kekuasaan, dan kedudukan tidak boleh diberikan kepada orang yang memintanya, berambisi untuk meraihnya, dan menempuh segala cara untuk dapat mendapatkannya.
- Orang yang paling berhak menjadi pemimpin, penguasa, dan memangku jabatan/kedudukan adalah orang yang menolak ketika diseerahkan kepemimpinan, jabatan dan kedudukan tersebut dalam keadaan ia benci dan tidak suka dengannya.
- Kepemimpinan adalah amanah yang besar dan tanggung jawab yang berat. Maka wajib bagi orang yang menjadi pemimpin untuk memperhatikan hak orang-orang dibawah kepemimpinannya dan tidak boleh menghianati amanah tersebut.
- Keutamaaan dan kemuliaan bagi seseorang yang menjadi pemimpin dan penguasa apabila memang ia pantas memegang kepemimpinannya dan kekuasaan tersebut, sama saja ia seorang pemimpin negara yang adil, ataukah bendahara yang terpercaya atau karyawan yang menguasai bidangnya.
- Ajakan kepada manusia untuk tidak berambisi meraih kedudukan tertentu, khususnya bila ia tidak pantas mendapat kedudukan tersebut.
- Kerasnya hukuman bagi orang yang tidak menunaikan kepemimpinan dengan semestinya, tidak memperhatikan hak orang yang dipimpin dan tidak melakukan upaya optimal dalam memperbagus urusan kepemimpinannya.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
{Sumber: Majalah Asy-Syariah, vol I/No. 06/maret 2004/ Muharram 1425 H, hal.40-45}
http://abufahmiabdullah.wordpress.com/2010/10/09/hukum-meminta-jabatan/
0 comments:
Post a Comment