Imam Malik rahimahullah berkata, “Tidak selayaknya seseorang memandang dirinya pantas menempati peran penting -dalam urusan ilmu, pent- sebelum bertanya kepada orang lain yang lebih berilmu darinya. Tidaklah aku memberikan fatwa hingga aku bertanya kepada Rabi'ah dan Yahya bin Sa'id. Tatkala mereka berdua memerintahkan (mengijinkan) aku untuk berfatwa akupun berfatwa. Seandainya mereka berdua melarangku niscaya aku pun akan menahan diri.” (dinukil dari Qawa'id fi at-Ta'amul ma'al 'Ulama oleh Syaikh Abdurrahman bin Mu'alla al-Luwaihiq, hal. 27)
Beliau juga berkata, “Tidaklah setiap orang yang ingin duduk membuka majelis hadits atau fatwa di masjid dibolehkan sampai terlebih dulu meminta saran kepada orang-orang yang memiliki keutamaan serta pengurus masjid yang bersangkutan. Apabila mereka menilai dia layak untuk itu, dia boleh membuka majelis di sana. Tidaklah aku membuka majelis kecuali setelah tujuh puluh orang ulama mempersaksikan bahwa aku boleh menduduki posisi itu.” (dinukil dari Qawa'id fi at-Ta'amul ma'al 'Ulama, hal. 27)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Kedudukan dan kekuasaan tidak bisa mengubah orang yang bukan alim mujtahid menjadi seorang alim mujtahid. Seandainya hak berbicara tentang urusan ilmu dan agama diperoleh dengan sebab kekuasaan dan kedudukan niscaya khalifah dan raja adalah orang yang paling berhak berbicara tentang ilmu dan agama. Sehingga orang-orang merujuk kepadanya dalam mencari solusi bagi masalah ilmu maupun agama yang mereka hadapi. Apabila ternyata khalifah dan raja tidak mendakwakan hal itu ada pada dirinya, demikian juga rakyat tidak wajib menerima pendapatnya tanpa melihat pendapat yang lain, kecuali apabila selaras dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam. Maka, orang-orang yang lebih rendah kedudukannya daripada raja lebih pantas untuk tidak melampaui kapasitas dirinya...” (dinukil dari Qawa'id fi at-Ta'amul ma'al 'Ulama, hal. 28)
Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah berkata, “Ilmu tidak diukur semata-mata dengan banyaknya riwayat atau banyaknya pembicaraan. Akan tetapi ia adalah cahaya yang ditanamkan ke dalam hati. Dengan ilmu itulah seorang hamba bisa memahami kebenaran. Dengannya pula seorang hamba bisa membedakan antara kebenaran dengan kebatilan. Orang yang benar-benar berilmu akan bisa mengungkapkan ilmunya dengan kata-kata yang ringkas dan tepat sasaran.” (dinukil dari Qawa'id fi at-Ta'amul ma'al 'Ulama, hal. 39)
Ibnu Mas'ud radhiyallahu'anhu berkata kepada para sahabatnya, “Sesungguhnya kalian sekarang ini berada di masa para ulamanya masih banyak dan tukang ceramahnya sedikit. Dan akan datang suatu masa setelah kalian dimana tukang ceramahnya banyak namun ulamanya amat sedikit.” (dinukil dari Qawa'id fi at-Ta'amul ma'al 'Ulama, hal. 40)
Syaikh as-Sa'di rahimahullah menjelaskan, bahwa ahli ilmu yang sejati adalah orang-orang yang ilmunya telah sampai ke dalam hatinya, oleh sebab itu mereka bisa memahami berbagai perumpamaan yang diberikan oleh Allah di dalam ayat-ayat-Nya (lihat Qawa'id fi at-Ta'amul ma'al 'Ulama, hal. 50).
Lebih daripada itu, ahli ilmu yang sejati adalah yang merasa takut kepada Allah. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya yang benar-benar merasa takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah orang-orang yang berilmu.” (QS. Fathir: 28). Dikarenakan ilmu dan rasa takutnya kepada Allah itulah, maka para ulama menjadi orang-orang yang paling jauh dari hawa nafsu dan paling mendekati kebenaran, sehingga pendapat mereka layak diperhitungkan menurut kacamata syari'at (lihat Qawa'id fi at-Ta'amul ma'al 'Ulama, hal. 52).
Oleh : Ust. Abu Mushlih Ari Wahyudi
Penulis adalah salah satu alumni Ma'had al-'Ilmi Yogyakarta
Link Web Ma'had al-'Ilmi: http://mahadilmi.wordpress.com/
Ma'had al-'Ilmi merupakan salah satu divisi di Yayasan Pendidikan Islam Al-Atsari (YPIA)
Link Web YPIA: http://ypia.or.id/
Sumber : http://www.facebook.com/?sk=messages&tid=1942309510481
0 comments:
Post a Comment